Penjelasan

Setelah menunggu kepulangan istrinya cukup lama, Jevin dapat bernapas lega ketika mendengar suara deru mobil dari depan rumahnya. Dengan cepat, lelaki itu mengambil langkah ke depan untuk menghampiri istrinya yang sedang merajuk.

Jevin melihat kembaran sang istri sedang mengeluarkan beberapa paper bag dari jok belakang. Sementara Sienna menunggu tak jauh dari Marvin.

“Masuk dulu yuk, Vin!” Sienna berkata setelah melihat Marvin selesai mengeluarkan paper bag yang berisi belanjaannya.

“Gue langsung balik aja lah, Na. Mami udah cerewet banget nelponin gue mulu,” gerutu Marvin, “Takut anak perjakanya hilang kali,” Marvin terkekeh.

Sienna mendengus, “Mami gak peduli lo hilang juga. Mami pasti nungguin pesenannya, makanya lo ditelepon terus. Lagipula—” potong Sienna yang melihat Marvin dari bawah ke atas, “lo ... yakin masih perjaka?” Sienna menatap Marvin tak yakin.

Tanpa peduli dengan kehadiran suami dari kembarannya, Marvin langsung menjitak kening Sienna, “Asal aja lo kalau ngomong. Masih perjaka lah gue. Emangnya lo udah gak perawan?” celetuk Marvin.

“Ya iyalah, kan gue mah udah married,” pamer Sienna yang kemudian merebut kantong belanjanya dari tangan Marvin, “Sana balik lo! Gue mau istirahat.”

Marvin tersenyum jahil, “Istirahat atau buatin gue ponakan?”

Sienna melotot, “Hush, sana,” Sienna mengibaskan tangannya mengusir Marvin, “Gue masuk duluan.”

Tersisa Marvin dan Jevin yang sedari tadi diam saja menyaksikan perdebatan dua bersaudara itu.

Good luck, Bang, ngebujuknya. Ngambek banget itu, sampai lo dianggap gak ada,” Marvin sedikit meringis ketika mengucapkan kalimat terakhirnya.

Jevin mendesah, “Iya, paling tidur di luar nih gue.”

“Semangat, Bang. Dia juga sengaja belanja banyak buat ngelampiasin kesalnya. Padahal sebelumnya bilang gak mau beli apa-apa,” cerita Marvin tanpa diminta, “Ya udah, gue balik dulu, Bang. Thankyou udah pinjemin Sienna hari ini.”

“Lo kira bini gue barang?” tukas Jevin, “Oke, hati-hati, ya.”

Begitu mobil Marvin melesat meninggalkan pekarangan rumahnya, Jevin segera menyusul istrinya ke kamar mereka. Sienna yang sedang membersihkan wajahnya, melirik Jevin sekilas dari kaca.

“Sayang,” panggil Jevin.

“Hmm.”

“Sini dulu deh,” pinta Jevin sembari menepuk sisi ranjang yang kosong di sebelahnya.

Dengan wajah yang masih tertekuk, Sienna menghampiri suaminya. Kemudian duduk di samping Jevin dengan memberikan jarak yang cukup jauh. Jevin yang melihat itu bergerak mendekat, namun Sienna ikut bergerak menjauhi.

“Kalau mau jelasin gak usah dekat-dekat, dari sana juga bisa,” kata Sienna tanpa memandang Jevin.

Jevin menghela napasnya, “Jadi, kenapa kamu marah sama aku?” tanya Jevin terlebih dahulu.

“Jangan basa-basi lagi, ya, Jev. Aku tau kamu udah cari tau alasan aku marah,” sahut Sienna.

“Oke, aku jujur,” ujar Jevin, “Jianna, temen kamu itu emang mantan aku waktu SMA. Aku sama Jia satu SMA, dia adik kelas aku. Dari awal dia masuk, aku emang udah tertarik—” Jevin menghentikan ucapannya saat wajah sang istri semakin terlihat masam, “Waktu SMA, Sayang. Sekarang udah gak ada perasaan apa-apa.”

“Kenapa kamu gak jujur ke aku kalau dia mantan kamu?” nada bicara Sienna terdengar begitu ketus, “Kenapa aku harus taunya dari Jia? Dan itu gara-gara dia pamer ketemu mantannya yang dapet title senior populer.”

Jevin terlihat ragu menjawab pertanyaan dari istrinya. Hal itu semakin membuat Sienna meradang karena memikirkan hal yang tidak-tidak.

“Kamu masih suka sama Jia, ya?!” tuduh Sienna.

“Gak, Sayang. Aku sama sekali gak ada perasaan lagi ke Jia,” Jevin menyangkal dengan cepat.

“Terus kenapa gak jujur?”

Jevin diam.

“Sagara Jevin.”

“Kamu tau kan, Sayang, pas jaman sekolah tuh aku gak sekeren sekarang. Bisa dibilang nerd lah. Tapi nekat banget nembak Jia yang notabenenya primadona SMA 127. Yah untungnya diterima. Tiga bulan pacaran terus tiba-tiba Jia mutusin aku tanpa alasan yang jelas. Aku langsung ditinggalin gitu aja.

“Lama-lama aku tau alasannya. Ternyata aku dijadiin taruhan sama gengnya Jia, mereka tau aku suka Jia. Makanya mereka bikin taruhan, kalau aku nembak, Jia harus terima. Dan kalau Jia bisa tahan pacaran sama aku dalam jangka waktu tiga bulan, Jia bakal dapet apapun yang dia mau dari gengnya.

“Sumpah, aku merasa bodoh dan malu banget kalau ingat itu. Makanya aku larang kamu berteman dekat sama Jia, karena takut dia bawa pengaruh buruk ke kamu. Dan alasan aku gak mau jujur Jia itu mantan aku, karena aku malu, Sayang. Bisa-bisanya aku dijadiin taruhan sama cewek. Aku gak mau ingat-ingat kalau Jia itu mantan aku, pengen aku hilangin aja ingatan itu.”

Mendengar penjelasan dari sang suami, Sienna tak tahu harus bereaksi seperti apa. Ingin tertawa, tetapi kasihan juga mendengar suaminya dipermainkan oleh Jia.

“Maafin aku, ya, Sayang,” Jevin mencoba untuk menggenggam tangan Sienna.

“Tapi, kenapa Marvin tau?”

“Yaa aku cerita ke dia. Minta pendapat dia, katanya gak usah bilang ke kamu aja, toh aku juga udah gak ada rasa sama Jia.”

“Ihh kenapa kamu minta pendapat Marvin? Sesat kan.”

“Lagian tuh cewek ngapain pamer kalau dia mantan aku? Gak guna banget.”

“Kamu kan ganteng sekarang, dia mau gebet kamu lagi. Bahkan tadi ditawarin koleksi tasnya Elena kalau dia bisa pacaran lagi sama kamu.”

“Gila, gak berubah mereka dari dulu,” Jevin menggeleng tak percaya, “Kamu udah gak marah kan?”

Sienna yang teringat kemarahannya, langsung melepaskan genggaman tangan Jevin, “Masih, tapi sedikit. Malam ini tidurnya kamu di ujung sana,” Sienna menunjuk sisi ranjang sebelah kiri, “aku di ujung sana,” Sienna menunjuk sisi yang berlawanan.

Wajah Jevin memelas, “Kita gak ketemu seharian loh, Sayang. Masa tidur harus jauhan lagi?”

“Hukuman buat kamu yang gak jujur ke aku.”

“Ya udah, tapi ... aku peluk kamu dulu sekarang,” tanpa menunggu lama, Jevin langsung menarik sang istri agar masuk ke dalam pelukannya. Lelaki itu memeluk erat Sienna sambil sesekali mencium puncak kepalanya.

Sienna hampir terlarut dalam dekapan Jevin.

“Enak kan pelukan aku? Hukumannya diganti jadi peluk semalaman aja gimana?” tawar Jevin.

Sienna bergerak melepas pelukan Jevin, “In your dream, Saga.”