Sagara Jevin Adrianno

Jevin memarkirkan mobil di pekarangan rumah mertuanya. Semenjak istrinya keluar dari rumah sakit, Jevin memang mengajak sang istri tinggal di rumah mertuanya untuk sementara waktu sampai kondisi Sienna benar-benar membaik.

Jevin tidak tega meninggalkan Sienna sendirian di rumah mereka. Jika di rumah mertuanya, Sienna ada yang menemani.

“Eh, udah pulang, Bang?” sapa Marvin yang baru saja keluar dari dalam rumah.

Jevin mengangguk, “Sienna dimana, Vin?”

“Di kamar, lagi kurang mood kayaknya, Bang,” Marvin memelankan suara, seakan takut Sienna mendengar ucapannya.

“Iya emang, Vin,” sahut Jevin menyetujui, “Makanya gue pulang sekalian beli coklat,” Jevin menunjukkan barang yang dibawanya.

Yes, gak perlu jalan ke minimarket gue, Bang,” wajah Marvin tampak sumringah.

Jevin tertawa kecil, “Lo disuruh Sienna beli coklat?”

“Iya, Bang. Ini baru mau jalan, untungnya aja lo udah bawa,” ujar Marvin, “Bersyukur banget gue, Bang, Nana dapat suami sepengertian lo. Gak bisa bayangin kalau suaminya bukan lo, mungkin ribut mulu karena moodnya Nana gak bisa ditebak.”

“Sienna gak se-moody itu sebenarnya, Vin. Lagian gak cuma gue aja yang pengertian, Nana juga pengertian banget. Gak pernah tuh dia larang gue main sama lo atau sahabat gue yang lain, asalkan gue ingat waktu aja.”

Marvin tersenyum, “Selain Mami sama Papi, kalian ini pasangan yang jadi panutan gue, Bang.”

Jika tadi Jevin tertawa kecil, sekarang lelaki itu terbahak-bahak, “Apa banget sih, anjir?! Gue sama Sienna juga masih banyak belajar memahami satu sama lain, Vin. Belum pantas lo jadiin panutan.”

“Tapi gue tetap kagum sama cara kalian nunjukin kasih sayang, Bang.”

Jevin tersenyum jahil, “Emang lo pernah lihat pas gue lagi sayang-sayangan sama Sienna?” Jevin menaikkan alisnya.

“Lo sering, ya, unjuk kemesraan di—” ucapan Marvin terhenti karena melihat binar mata Jevin yang menggoda, “Oke, ini udah beda arti kan? Hush hush, pergi lo sana. Gue masih polos.”

Jevin merangkul kakak iparnya masuk ke dalam rumah sambil tertawa-tawa.

“Loh udah pulang, Nak?” tanya Seva, ibu Sienna dan Marvin.

Suami Sienna itu segera menyalami ibu mertuanya dan juga ibunya yang ada di sana, “Iya, Mi. Sienna lagi pengen manja,” Jevin terkekeh.

“Ya udah, langsung temui istri kamu sana,” suruh Jessica yang merupakan ibu dari Jevin.

“Oke, Ma,” kata Jevin, “Jev ke kamar dulu, ya, Ma, Mi.”

Seva mengangguk, “Kamu gak jadi ke minimarket, Vin?”

“Itu Bang Jev udah beliin coklat buat Nana kok, Mi.”


Cherie,” panggil Jevin pelan agar tidak mengejutkan sang istri.

Mendengar suara suaminya, Sienna langsung membalikkan tubuhnya. Begitu melihat Jevin sudah berdiri di dekat ranjang, Sienna mengubah posisinya menjadi duduk. Jevin pun ikut duduk dengan jarak yang tak jauh dari Sienna.

Jevin kemudian merentangkan kedua tangannya yang segera disambut oleh Sienna dengan masuk ke dalam rengkuhan hangat sang suami. Wajah Sienna bersembunyi di dada bidang Jevin. Kedua tangan perempuan itu melingkar sempurna di pinggang suaminya.

Sementara itu lengan Jevin juga langsung melingkupi tubuh sang istri, membuat Sienna tenggelam dalam pelukannya.

Beberapa menit berlalu dalam keheningan, baik Jevin maupun Sienna tak ada yang membuka pembicaraan. Jevin masih membiarkan Sienna meresapi pelukannya, memberi waktu untuk istri tersayangnya melepaskan kegundahan yang dirasakan.

Semakin lama, Sienna tampak lebih santai dalam dekapan Jevin. Perempuan itu kemudian membenarkan posisi kepalanya, wajahnya kini menghadap ke samping, sehingga telinga kirinya dapat mendengar degup jantung sang suami.

“Jev,” lirih Sienna.

“Hmm.”

“Aku takut.”

“Kamu takut apa, Cherie?”

“Jia. Aku takut dia terobsesi sama kamu. Dia bilang gak akan berhenti sebelum dapatin kamu lagi,” Sienna mengeratkan pelukannya, seperti takut Jevin akan diambil oleh Jia.

Jevin menghela napas, “Aku bilang kita go public aja. Kalau Jia benar-benar teman kamu, saat kita go public, dia bakal mundur dan berhenti. Tapi kalau sebaliknya, kamu tenang aja, aku gak akan berpaling dari kamu, Sienna.”

“Kalau kamu masih belum siap, biar aku kasih peringatan tegas ke Jia. Aku sama dia udah selesai lama. Gak bakal ada kesempatan kedua buat dia, mau dia usaha sekeras apapun.”

Sienna diam memikirkan ucapan Jevin, “Boleh, aku mau.”

“Oke, besok aku bakal temui Jia untuk kasih peringatan. Aku bakal minta Wildan jadi saksinya. Oke, Sayang?”

“Bukan itu, aku mau kita go public.”

Mata Jevin terbelalak, lelaki itu sedikit merenggangkan pelukan mereka demi bisa menatap mata istrinya, “Na, are you serious?”

Sienna mengangguk, “Kita bisa mulai dari hal kecil, Jev. Sedikit kode dulu, biar kalau nanti kita go public gak pada kaget.”

“Maksud kamu ala-ala artis gitu? Yang pakai barang couple, post foto di tempat yang sama gitu?” tanya Jevin memastikan.

“Semacam itu lah.”

Jevin mengangguk-angguk, memahami maksud sang istri, “Seru juga kayaknya. Boleh tuh kayak gitu, namanya apa sih? Love ... love apa sih, Na?”

Lovestagram, Sayang.”

“Ah iya, lovestagram! Oke, ayo kita mulai!” seru Jevin begitu antusias.

“Semangat banget sih?” Sienna tersenyum geli.

“Iya. Udah gak sabar mau nunjukin kalau kamu istri aku,” Jevin menatap Sienna, “Ditambah sebentar lagi kita punya anggota baru,” tangan Jevin berpindah ke perut Sienna, mengusap lembut perut rata Sienna yang didalamnya ada calon buah hatinya.

Sienna masih tersenyum, tangannya bertumpu di atas tangan Jevin, “Dia pintar banget. Gak pernah bikin aku mual, gak pernah bikin aku pusing, gak pernah minta yang aneh-aneh. Kita gak bakal tau kalau bukan karena musibah kemarin.”

“Hm, kamu benar,” gumam Jevin, kemudian tersadar, “Dia kemarin minta yang aneh-aneh loh, Cherie. Bisa-bisanya dia minta aku ngedance.”

Sienna terkekeh, “Gak apa-apa, lagian dance kamu bagus tuh. Dance lagi, ya?” goda Sienna.

“Gak, cukup yang kemarin aja,” tolak Jevin, lelaki itu lalu meraih sekantong plastik berisi coklat yang dibawanya untuk mengalihkan perhatian Sienna, “Aku beliin kamu coklat tadi.”

Mata Sienna berbinar, “Wah, pas banget. Aku tadi minta tolong ke Marvin buat beli coklat.”

“Iya, tadi ketemu di depan, katanya mau ke minimarket,” Jevin membuka jaket jeans yang dikenakannya, hingga menyisakan kaos putih yang melekat pas di tubuhnya.

“Sagara,” panggil Sienna.

“Iya?”

“Makasih, ya?”

“Untuk?”

“Untuk semuanya,” ujar perempuan itu, “Makasih udah jadi suami yang sabar dan perhatian. Makasih karena kamu gak maksa aku cerita sampai aku siap. Makasih untuk pelukan yang selalu buat aku nyaman. Makasih udah mau nurutin permintaan aku untuk backstreet. Makasih udah mau mencintai aku. Makasih buat semuanya. Aku beruntung punya kamu, Sagara.”

No, Sayang, kamu gak perlu berterimakasih. Waktu menikah, udah tugas kita untuk melengkapi satu sama lain kan? Aku masih banyak kekurangan, dan kamu yang melengkapi kekurangan aku. Begitupun sebaliknya. Kalau kamu sedih, kamu bisa bersandar di bahu atau dada aku. Kalau aku capek, aku bisa bermanja di pangkuan kamu. Semua udah ada porsinya, Na.”

Mendengar perkataan Jevin, Sienna tahu satu hal.

Dia tidak salah memilih Sagara Jevin Adrianno sebagai teman hidupnya.