sunchyyraa

Jevin memarkirkan mobil di pekarangan rumah mertuanya. Semenjak istrinya keluar dari rumah sakit, Jevin memang mengajak sang istri tinggal di rumah mertuanya untuk sementara waktu sampai kondisi Sienna benar-benar membaik.

Jevin tidak tega meninggalkan Sienna sendirian di rumah mereka. Jika di rumah mertuanya, Sienna ada yang menemani.

“Eh, udah pulang, Bang?” sapa Marvin yang baru saja keluar dari dalam rumah.

Jevin mengangguk, “Sienna dimana, Vin?”

“Di kamar, lagi kurang mood kayaknya, Bang,” Marvin memelankan suara, seakan takut Sienna mendengar ucapannya.

“Iya emang, Vin,” sahut Jevin menyetujui, “Makanya gue pulang sekalian beli coklat,” Jevin menunjukkan barang yang dibawanya.

Yes, gak perlu jalan ke minimarket gue, Bang,” wajah Marvin tampak sumringah.

Jevin tertawa kecil, “Lo disuruh Sienna beli coklat?”

“Iya, Bang. Ini baru mau jalan, untungnya aja lo udah bawa,” ujar Marvin, “Bersyukur banget gue, Bang, Nana dapat suami sepengertian lo. Gak bisa bayangin kalau suaminya bukan lo, mungkin ribut mulu karena moodnya Nana gak bisa ditebak.”

“Sienna gak se-moody itu sebenarnya, Vin. Lagian gak cuma gue aja yang pengertian, Nana juga pengertian banget. Gak pernah tuh dia larang gue main sama lo atau sahabat gue yang lain, asalkan gue ingat waktu aja.”

Marvin tersenyum, “Selain Mami sama Papi, kalian ini pasangan yang jadi panutan gue, Bang.”

Jika tadi Jevin tertawa kecil, sekarang lelaki itu terbahak-bahak, “Apa banget sih, anjir?! Gue sama Sienna juga masih banyak belajar memahami satu sama lain, Vin. Belum pantas lo jadiin panutan.”

“Tapi gue tetap kagum sama cara kalian nunjukin kasih sayang, Bang.”

Jevin tersenyum jahil, “Emang lo pernah lihat pas gue lagi sayang-sayangan sama Sienna?” Jevin menaikkan alisnya.

“Lo sering, ya, unjuk kemesraan di—” ucapan Marvin terhenti karena melihat binar mata Jevin yang menggoda, “Oke, ini udah beda arti kan? Hush hush, pergi lo sana. Gue masih polos.”

Jevin merangkul kakak iparnya masuk ke dalam rumah sambil tertawa-tawa.

“Loh udah pulang, Nak?” tanya Seva, ibu Sienna dan Marvin.

Suami Sienna itu segera menyalami ibu mertuanya dan juga ibunya yang ada di sana, “Iya, Mi. Sienna lagi pengen manja,” Jevin terkekeh.

“Ya udah, langsung temui istri kamu sana,” suruh Jessica yang merupakan ibu dari Jevin.

“Oke, Ma,” kata Jevin, “Jev ke kamar dulu, ya, Ma, Mi.”

Seva mengangguk, “Kamu gak jadi ke minimarket, Vin?”

“Itu Bang Jev udah beliin coklat buat Nana kok, Mi.”


Cherie,” panggil Jevin pelan agar tidak mengejutkan sang istri.

Mendengar suara suaminya, Sienna langsung membalikkan tubuhnya. Begitu melihat Jevin sudah berdiri di dekat ranjang, Sienna mengubah posisinya menjadi duduk. Jevin pun ikut duduk dengan jarak yang tak jauh dari Sienna.

Jevin kemudian merentangkan kedua tangannya yang segera disambut oleh Sienna dengan masuk ke dalam rengkuhan hangat sang suami. Wajah Sienna bersembunyi di dada bidang Jevin. Kedua tangan perempuan itu melingkar sempurna di pinggang suaminya.

Sementara itu lengan Jevin juga langsung melingkupi tubuh sang istri, membuat Sienna tenggelam dalam pelukannya.

Beberapa menit berlalu dalam keheningan, baik Jevin maupun Sienna tak ada yang membuka pembicaraan. Jevin masih membiarkan Sienna meresapi pelukannya, memberi waktu untuk istri tersayangnya melepaskan kegundahan yang dirasakan.

Semakin lama, Sienna tampak lebih santai dalam dekapan Jevin. Perempuan itu kemudian membenarkan posisi kepalanya, wajahnya kini menghadap ke samping, sehingga telinga kirinya dapat mendengar degup jantung sang suami.

“Jev,” lirih Sienna.

“Hmm.”

“Aku takut.”

“Kamu takut apa, Cherie?”

“Jia. Aku takut dia terobsesi sama kamu. Dia bilang gak akan berhenti sebelum dapatin kamu lagi,” Sienna mengeratkan pelukannya, seperti takut Jevin akan diambil oleh Jia.

Jevin menghela napas, “Aku bilang kita go public aja. Kalau Jia benar-benar teman kamu, saat kita go public, dia bakal mundur dan berhenti. Tapi kalau sebaliknya, kamu tenang aja, aku gak akan berpaling dari kamu, Sienna.”

“Kalau kamu masih belum siap, biar aku kasih peringatan tegas ke Jia. Aku sama dia udah selesai lama. Gak bakal ada kesempatan kedua buat dia, mau dia usaha sekeras apapun.”

Sienna diam memikirkan ucapan Jevin, “Boleh, aku mau.”

“Oke, besok aku bakal temui Jia untuk kasih peringatan. Aku bakal minta Wildan jadi saksinya. Oke, Sayang?”

“Bukan itu, aku mau kita go public.”

Mata Jevin terbelalak, lelaki itu sedikit merenggangkan pelukan mereka demi bisa menatap mata istrinya, “Na, are you serious?”

Sienna mengangguk, “Kita bisa mulai dari hal kecil, Jev. Sedikit kode dulu, biar kalau nanti kita go public gak pada kaget.”

“Maksud kamu ala-ala artis gitu? Yang pakai barang couple, post foto di tempat yang sama gitu?” tanya Jevin memastikan.

“Semacam itu lah.”

Jevin mengangguk-angguk, memahami maksud sang istri, “Seru juga kayaknya. Boleh tuh kayak gitu, namanya apa sih? Love ... love apa sih, Na?”

Lovestagram, Sayang.”

“Ah iya, lovestagram! Oke, ayo kita mulai!” seru Jevin begitu antusias.

“Semangat banget sih?” Sienna tersenyum geli.

“Iya. Udah gak sabar mau nunjukin kalau kamu istri aku,” Jevin menatap Sienna, “Ditambah sebentar lagi kita punya anggota baru,” tangan Jevin berpindah ke perut Sienna, mengusap lembut perut rata Sienna yang didalamnya ada calon buah hatinya.

Sienna masih tersenyum, tangannya bertumpu di atas tangan Jevin, “Dia pintar banget. Gak pernah bikin aku mual, gak pernah bikin aku pusing, gak pernah minta yang aneh-aneh. Kita gak bakal tau kalau bukan karena musibah kemarin.”

“Hm, kamu benar,” gumam Jevin, kemudian tersadar, “Dia kemarin minta yang aneh-aneh loh, Cherie. Bisa-bisanya dia minta aku ngedance.”

Sienna terkekeh, “Gak apa-apa, lagian dance kamu bagus tuh. Dance lagi, ya?” goda Sienna.

“Gak, cukup yang kemarin aja,” tolak Jevin, lelaki itu lalu meraih sekantong plastik berisi coklat yang dibawanya untuk mengalihkan perhatian Sienna, “Aku beliin kamu coklat tadi.”

Mata Sienna berbinar, “Wah, pas banget. Aku tadi minta tolong ke Marvin buat beli coklat.”

“Iya, tadi ketemu di depan, katanya mau ke minimarket,” Jevin membuka jaket jeans yang dikenakannya, hingga menyisakan kaos putih yang melekat pas di tubuhnya.

“Sagara,” panggil Sienna.

“Iya?”

“Makasih, ya?”

“Untuk?”

“Untuk semuanya,” ujar perempuan itu, “Makasih udah jadi suami yang sabar dan perhatian. Makasih karena kamu gak maksa aku cerita sampai aku siap. Makasih untuk pelukan yang selalu buat aku nyaman. Makasih udah mau nurutin permintaan aku untuk backstreet. Makasih udah mau mencintai aku. Makasih buat semuanya. Aku beruntung punya kamu, Sagara.”

No, Sayang, kamu gak perlu berterimakasih. Waktu menikah, udah tugas kita untuk melengkapi satu sama lain kan? Aku masih banyak kekurangan, dan kamu yang melengkapi kekurangan aku. Begitupun sebaliknya. Kalau kamu sedih, kamu bisa bersandar di bahu atau dada aku. Kalau aku capek, aku bisa bermanja di pangkuan kamu. Semua udah ada porsinya, Na.”

Mendengar perkataan Jevin, Sienna tahu satu hal.

Dia tidak salah memilih Sagara Jevin Adrianno sebagai teman hidupnya.

Mendengar bel rumahnya berbunyi, Sienna semakin merasa tegang. Namun mau tidak mau perempuan itu harus beranjak untuk membukakan pintu.

Jevin adalah orang pertama yang Sienna lihat setelah pintu terbuka. Di belakang Jevin, ada empat lelaki yang tak lain adalah Marvin, Wildan, Tian, dan Deka.

“Loh, kok ada Sienna di sini?” Tian pun merasa kebingungan dengan kehadiran Sienna di rumah Jevin.

“Ayo, masuk dulu, Kak,” ajak Sienna sambil membuka pintu lebih lebar.

Akhirnya mereka berlima sudah berada di dalam rumah, bersama Sienna dan juga Daisy.

“Bentar deh. Ini rumah lo atau rumah Marvin sih, Jev?” Tian tidak dapat menahan rasa penasarannya lagi.

“Rumah gue,” sahut Jevin lalu meminum air mineral yang sudah Sienna siapkan sebelumnya.

“Tapi ... Sienna?” Deka melihat ke arah Sienna.

Jevin menghela napas, “Ada yang mau gue omongin ke kalian. Tapi kita makan dulu aja,” Jevin kemudian mengajak sahabatnya ke meja makan dimana sudah ada masakan rumahan yang Sienna pesan melalui layanan delivery.

“Lo yang masak, Na?” tanya Wildan.

Sienna menggeleng, “Gak, Kak, delivery tadi,” jawabnya.

Mereka makan dalam keheningan. Jevin dan Sienna yang begitu tegang karena ingin mengungkap hubungan mereka. Tian dan Deka yang dilanda kebingungan dengan kehadiran Sienna. Sementara Marvin, Daisy, dan Wildan juga penasaran dengan drama yang akan terjadi nanti.

“Oke, bisa jelasin sekarang?” Deka langsung to the point saat mereka sudah berpindah ke ruang keluarga setelah makan malam selesai, “Jujur, gue udah penasaran. Apalagi lihat kalian duduk dekatan gitu.”

Jevin dan Sienna langsung saling pandang. Mereka memang duduk bersebelahan di sofa panjang, ditambah dengan kehadiran Marvin. Sementara yang lain duduk di sofa single.

Tian mengangguk, “Normalnya, Sienna harusnya duduk lebih dekat ke Marvin. Tapi ini dekat banget sama lo, Jev,” mata Tian memicing tajam.

Jevin berdeham, “Oke, jadi di sini gue mau buat pengakuan ke kalian,” mulai Jevin.

“Gue sama Sienna udah married, dari enam bulan yang lalu. Sebelumnya gue minta maaf karena nutupi ini semua dari kalian. Ada beberapa alasan yang bikin gue belum spill hubungan gue. Tapi setelah dibicarain lagi, gue sama Sienna akhirnya sepakat buat spill dulu ke kalian.”

Kedua sahabat Jevin itu terdiam sejenak.

“Lo udah married dari enam bulan yang lalu, artinya lo pacaran udah lama? Dan selama itu juga lo backstreet?” Deka meminta penjelasan lebih lanjut.

“Pdkt udah dari Sienna maba. Terus pacaran kalau gak salah Sienna semester dua. Dihitung-hitung kita backstreet dua tahunan.”

Deka menggeleng tak percaya, “Gila lo main rapi banget selama ini. Hebat banget, gak pernah bikin gue, Tian, sama Wildan curiga.”

“Tapi, Wildan gak kelihatan kaget, jangan bilang lo udah tau, Wil?” tembak Tian pada Wildan yang hanya menjadi penonton sejak tadi.

“Gue tau, tapi belum lama. Baru empat bulan yang lalu, itu juga gara-gara gak sengaja mergokin mereka di kamar Jev,” kata Wildan.

Sienna merasa malu saat Wildan membahas itu. Ia jadi teringat kejadian empat bulan lalu saat menginap di rumah mertuanya, ketika sedang bermanja-manja dengan suaminya di kamar tiba-tiba saja Wildan datang mengejutkannya dan Jevin. Mau tidak mau, akhirnya mereka mengatakan yang sebenarnya ke Wildan.

“Wah gila!” Tian langsung berdiri dari duduknya, “Gue pikir kita sahabat, Jev. Tapi ternyata selama ini lo bohongi kita! Dua tahun lo sembunyiin ini semua, maksudnya apa? Oke lah kalau lo sembunyiin dari anak kampus yang lain, tapi ke gue, Deka, sama Wildan?”

Jevin ikut berdiri, sedangkan Sienna sudah begitu takut sekaligus merasa bersalah.

“Kita sahabat, Yan—”

“Sahabat macam apa yang bohongi sahabatnya, Jev?! Gue tau setiap orang punya privasi, tapi masa iya lo nikah gak undang-undang kita? Nikah sekali seumur hidup, dan kita gak hadir di acara pernikahan lo, Jev.”

“Tenang, Yan, kita bicarain pakai kepala dingin,” sela Deka.

“Lo aja yang ngomong, gue udahan,” Tian langsung meraih kunci mobilnya.

“Kita belum kelar,” Jevin mencegah Tian yang hendak pergi.

“Gue udah,” sahut Tian dingin sambil menepis tangan Jevin dari bahunya.

“Lo bisa gak sih jangan emosian dulu. Dengerin gue dulu! Jangan kekanakkan gini lah, Yan.”

“Lo bilang gue emosian? Kekanakkan?” Tian tersenyum sinis, “Ini baru emosian—”

Bugh!

Semua orang yang berada di sana terkejut saat Tian tiba-tiba meninju rahang Jevin. Suasana semakin memanas, ditambah dengan Sienna yang menangis melihat suaminya dipukul. Daisy bergerak menenangkan Sienna.

Marvin, Wildan, dan Deka juga dengan cepat melerai Jevin dan Tian.

“Perlu banget berantem tonjok-tonjokkan? Lo berdua udah tua! Utamain otak, jangan otot,” Wildan berdiri di tengah-tengah kedua lelaki yang dilanda emosi itu. Tian yang emosi karena kebohongan Jevin dan disebut emosian serta kekanakkan. Sementara Jevin juga emosi karena tiba-tiba mendapat bogeman mentah di rahangnya hingga membuat sudut bibirnya luka.

“Bilangin tuh temen lo, jangan asal mukul orang aja,” Jevin yang awalnya ingin berbicara santai, menjadi ikut ketus.

“Bilangin juga ke temen lo, jangan suka bohong,” sindir Tian.

“Gue udah minta maaf dari awal, ya. Lo gak jelas banget, tiba-tiba mukul gue.”

“Lo bilang gue emosian, ya gue tunjukin emosian yang sebenarnya.”

“Kak Tian,” Sienna buka suara di tengah sesenggukkannya, membuat Jevin baru menyadari kehadiran sang istri yang tentu saja melihat dirinya dipukul.

“Gue minta maaf, ya, Kak. Gue yang minta Jevin buat nutupi hubungan kita dulu, soalnya gue belum siap, Kak. Kalau lo mau marah, marah aja sama gue, Kak. Tapi tolong jangan pukul Jevin lagi,” Sienna menangkupkan kedua tangannya, “Maaf juga buat Kak Deka. Gue tau kalian pasti kecewa banget sama Jevin. Gak apa-apa kalian marah, tapi jangan pakai kekerasan.”

Tian menghela napas kasar, “Gue tadi udah mau pergi, soalnya takut kelepasan, laki lo malah nahan gue, Na,” kesal Tian, “Gue balik duluan. Ka, lo bareng Wildan.”

Kali ini tidak ada yang mencegah Tian untuk pulang.

“Gak perlu lo pikirin, Na. Tian emang begitu, besok atau lusa juga udah baikan tuh anaknya,” Deka mencoba menenangkan Sienna yang resah, “Gue udah maafin lo sama Jevin. Agak kecewa sih, tapi ya udah, itu juga hak kalian. Walau telat, tapi selamat, ya, buat pernikahan kalian.”

Sienna akhirnya bisa sedikit lega setelah melihat respon Deka, “Makasih, Kak Deka. Sekali lagi maaf ya,”

No need to sorry, Na.”

Thank you, Ka,” Jevin dan Deka bersalaman ala lelaki.

“Sahabat gue yang dikira jomblo, udah punya bini ternyata,” Deka meninju lengan Jevin main-main.

Jevin terbahak, namun sebentar saja. Selanjutnya lelaki itu meringis karena merasa kesakitan di sudut bibirnya.

“Sakit banget, ya?” Sienna menatap Jevin khawatir, kedua tangannya menangkup wajah Jevin untuk melihat lebih detil luka suaminya.

“Gak kok, Ma Cherie. Jangan khawatir.”

“Gak gimana?! Berdarah itu, Jev! Sebentar, aku obati dulu.”

Jevin langsung memeluk Sienna, “Gak perlu, Sayang. Kamu obatnya.”

“Kok geli sih? Balik yuk, Ka.”

“Ayo, Wil. Geli banget lihat Jevin gini.”

“Daisy, ayo kita pulang. Bang Jev udah cringe ini.”

So sweet banget Kak Jev!”

Setelah menunggu kepulangan istrinya cukup lama, Jevin dapat bernapas lega ketika mendengar suara deru mobil dari depan rumahnya. Dengan cepat, lelaki itu mengambil langkah ke depan untuk menghampiri istrinya yang sedang merajuk.

Jevin melihat kembaran sang istri sedang mengeluarkan beberapa paper bag dari jok belakang. Sementara Sienna menunggu tak jauh dari Marvin.

“Masuk dulu yuk, Vin!” Sienna berkata setelah melihat Marvin selesai mengeluarkan paper bag yang berisi belanjaannya.

“Gue langsung balik aja lah, Na. Mami udah cerewet banget nelponin gue mulu,” gerutu Marvin, “Takut anak perjakanya hilang kali,” Marvin terkekeh.

Sienna mendengus, “Mami gak peduli lo hilang juga. Mami pasti nungguin pesenannya, makanya lo ditelepon terus. Lagipula—” potong Sienna yang melihat Marvin dari bawah ke atas, “lo ... yakin masih perjaka?” Sienna menatap Marvin tak yakin.

Tanpa peduli dengan kehadiran suami dari kembarannya, Marvin langsung menjitak kening Sienna, “Asal aja lo kalau ngomong. Masih perjaka lah gue. Emangnya lo udah gak perawan?” celetuk Marvin.

“Ya iyalah, kan gue mah udah married,” pamer Sienna yang kemudian merebut kantong belanjanya dari tangan Marvin, “Sana balik lo! Gue mau istirahat.”

Marvin tersenyum jahil, “Istirahat atau buatin gue ponakan?”

Sienna melotot, “Hush, sana,” Sienna mengibaskan tangannya mengusir Marvin, “Gue masuk duluan.”

Tersisa Marvin dan Jevin yang sedari tadi diam saja menyaksikan perdebatan dua bersaudara itu.

Good luck, Bang, ngebujuknya. Ngambek banget itu, sampai lo dianggap gak ada,” Marvin sedikit meringis ketika mengucapkan kalimat terakhirnya.

Jevin mendesah, “Iya, paling tidur di luar nih gue.”

“Semangat, Bang. Dia juga sengaja belanja banyak buat ngelampiasin kesalnya. Padahal sebelumnya bilang gak mau beli apa-apa,” cerita Marvin tanpa diminta, “Ya udah, gue balik dulu, Bang. Thankyou udah pinjemin Sienna hari ini.”

“Lo kira bini gue barang?” tukas Jevin, “Oke, hati-hati, ya.”

Begitu mobil Marvin melesat meninggalkan pekarangan rumahnya, Jevin segera menyusul istrinya ke kamar mereka. Sienna yang sedang membersihkan wajahnya, melirik Jevin sekilas dari kaca.

“Sayang,” panggil Jevin.

“Hmm.”

“Sini dulu deh,” pinta Jevin sembari menepuk sisi ranjang yang kosong di sebelahnya.

Dengan wajah yang masih tertekuk, Sienna menghampiri suaminya. Kemudian duduk di samping Jevin dengan memberikan jarak yang cukup jauh. Jevin yang melihat itu bergerak mendekat, namun Sienna ikut bergerak menjauhi.

“Kalau mau jelasin gak usah dekat-dekat, dari sana juga bisa,” kata Sienna tanpa memandang Jevin.

Jevin menghela napasnya, “Jadi, kenapa kamu marah sama aku?” tanya Jevin terlebih dahulu.

“Jangan basa-basi lagi, ya, Jev. Aku tau kamu udah cari tau alasan aku marah,” sahut Sienna.

“Oke, aku jujur,” ujar Jevin, “Jianna, temen kamu itu emang mantan aku waktu SMA. Aku sama Jia satu SMA, dia adik kelas aku. Dari awal dia masuk, aku emang udah tertarik—” Jevin menghentikan ucapannya saat wajah sang istri semakin terlihat masam, “Waktu SMA, Sayang. Sekarang udah gak ada perasaan apa-apa.”

“Kenapa kamu gak jujur ke aku kalau dia mantan kamu?” nada bicara Sienna terdengar begitu ketus, “Kenapa aku harus taunya dari Jia? Dan itu gara-gara dia pamer ketemu mantannya yang dapet title senior populer.”

Jevin terlihat ragu menjawab pertanyaan dari istrinya. Hal itu semakin membuat Sienna meradang karena memikirkan hal yang tidak-tidak.

“Kamu masih suka sama Jia, ya?!” tuduh Sienna.

“Gak, Sayang. Aku sama sekali gak ada perasaan lagi ke Jia,” Jevin menyangkal dengan cepat.

“Terus kenapa gak jujur?”

Jevin diam.

“Sagara Jevin.”

“Kamu tau kan, Sayang, pas jaman sekolah tuh aku gak sekeren sekarang. Bisa dibilang nerd lah. Tapi nekat banget nembak Jia yang notabenenya primadona SMA 127. Yah untungnya diterima. Tiga bulan pacaran terus tiba-tiba Jia mutusin aku tanpa alasan yang jelas. Aku langsung ditinggalin gitu aja.

“Lama-lama aku tau alasannya. Ternyata aku dijadiin taruhan sama gengnya Jia, mereka tau aku suka Jia. Makanya mereka bikin taruhan, kalau aku nembak, Jia harus terima. Dan kalau Jia bisa tahan pacaran sama aku dalam jangka waktu tiga bulan, Jia bakal dapet apapun yang dia mau dari gengnya.

“Sumpah, aku merasa bodoh dan malu banget kalau ingat itu. Makanya aku larang kamu berteman dekat sama Jia, karena takut dia bawa pengaruh buruk ke kamu. Dan alasan aku gak mau jujur Jia itu mantan aku, karena aku malu, Sayang. Bisa-bisanya aku dijadiin taruhan sama cewek. Aku gak mau ingat-ingat kalau Jia itu mantan aku, pengen aku hilangin aja ingatan itu.”

Mendengar penjelasan dari sang suami, Sienna tak tahu harus bereaksi seperti apa. Ingin tertawa, tetapi kasihan juga mendengar suaminya dipermainkan oleh Jia.

“Maafin aku, ya, Sayang,” Jevin mencoba untuk menggenggam tangan Sienna.

“Tapi, kenapa Marvin tau?”

“Yaa aku cerita ke dia. Minta pendapat dia, katanya gak usah bilang ke kamu aja, toh aku juga udah gak ada rasa sama Jia.”

“Ihh kenapa kamu minta pendapat Marvin? Sesat kan.”

“Lagian tuh cewek ngapain pamer kalau dia mantan aku? Gak guna banget.”

“Kamu kan ganteng sekarang, dia mau gebet kamu lagi. Bahkan tadi ditawarin koleksi tasnya Elena kalau dia bisa pacaran lagi sama kamu.”

“Gila, gak berubah mereka dari dulu,” Jevin menggeleng tak percaya, “Kamu udah gak marah kan?”

Sienna yang teringat kemarahannya, langsung melepaskan genggaman tangan Jevin, “Masih, tapi sedikit. Malam ini tidurnya kamu di ujung sana,” Sienna menunjuk sisi ranjang sebelah kiri, “aku di ujung sana,” Sienna menunjuk sisi yang berlawanan.

Wajah Jevin memelas, “Kita gak ketemu seharian loh, Sayang. Masa tidur harus jauhan lagi?”

“Hukuman buat kamu yang gak jujur ke aku.”

“Ya udah, tapi ... aku peluk kamu dulu sekarang,” tanpa menunggu lama, Jevin langsung menarik sang istri agar masuk ke dalam pelukannya. Lelaki itu memeluk erat Sienna sambil sesekali mencium puncak kepalanya.

Sienna hampir terlarut dalam dekapan Jevin.

“Enak kan pelukan aku? Hukumannya diganti jadi peluk semalaman aja gimana?” tawar Jevin.

Sienna bergerak melepas pelukan Jevin, “In your dream, Saga.”